REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Arif Supriyono
Alhamdulillah, usaha keras pelbagai pihak --termasuk Badan SAR Nasional, Air Asia, dan lain-lain-- akhirnya membawa hasil. Meski masih dalam suasana duka, rasa lega sempat menggamit tatkala melihat dan mendengar kabar adanya temuan jenazah penumpang Air Asia QZ 8501 yang hilang tiga hari lalu.
Tanpa bermaksud mengabaikan kedukaan yang dirasakan para keluarga korban, upaya tanpa kenal lelah semua pihak untuk menemukan korban dan pesawat AirAsia patut mendapat pujian. Dedikasi dan kerja keras mereka membuktikan profesionalisme dan kepedulian mereka atas sesama.
Hal yang menurut saya sangat menganggu justru pemberitaan oleh media massa, terutama televisi. Saya tak habis mengerti tatkala beberapa wartawan muda menanyakan soal perasaan keluarga korban atas musibah ini.
Anak kecil saja akan mengerti, bahwa keluarga yang tertimpa musibah seperti ini pasti akan merasakan kepedihan tiada tara. Kita pun tentu bisa merasakan, bagaimana sedihnya ditinggal atau kehilangan anggota keluarga tanpa kita tahu keberadaannya. Masalah seperti ini semestinya tak perlu lagi ditanyakan oleh wartawan.
Hal-hal seperti itu sebenarnya merupakan pengetahuan mendasar bagi insan pers. Bahkan bukan hanya itu, sebagai manusia biasa, tentu mereka juga mendapatkan pengetahuan tentang norma-norma dan etika dalam menjalin hubungan dengan insan lainnya. Sebagai insan normal, mereka pun pasti memiliki nurani yang akan menyertainya ke mana pun menjalani roda kehidupan.
Kita tentu masih ingat sepuluh tahun lalu ketika ada seorang wartawati media televisi yang mengucurkan air mata saat meliput korban tsunami di Aceh. Meski sampai menangis, siapa yang meragukan profesionalisme wartawati itu? Artinya, empati atau simpati tetap perlu dimiliki insan pers sekalipun tuntutan tugas untuk terus menggali informasi tak juga redup.
Mungkin kita tak perlu harus selalu menangis saat meliput adegan duka atau penuh nestapa. Akan tetapi rasa empati dan simpati terhadap keluarga korban harus tetap ada lantaran kita adalah manusia biasa. Itu sekaligus merupakan adab dalam kehidupan. Bukankah insan pers juga manusia yang tak bisa lepas dari habitat kita sebagai mahluk hidup?
Apa yang terjadi rupanya tak berhenti sampai di situ. Ternyata sesaat setelah beberapa jenazah korban pesawat AirAsia ditemukan, pemberitaan media televisi justru tak menunjukkan empati yang mendalam. Mereka dengan leluasa menampilkan gambar jenazah korban yang terapung di laut dan dalam kondisi menyedihkan.
Apa kita tak bisa merasakan, bahwa pemberitaan seperti itu merupakan hal yang sadis? Tidak bisakah kita mencoba memahami dan merasakan andai itu menimpa keluarga kita?
Secara umum, bagi setiap orang, melihat kondisi jenazah yang menyedihkan atau mengerikan tentu ada rasa tak tega. Itu kalau kita masuk kategori sebagai manusia normal. Pengecualian tentu diberikan pada mereka yang bertugas untuk menolong korban semacam itu.
Para awak media mestinya paham, bahwa apa yang akan mereka siarkan bakal ditonton oleh khalayak luas. Para keluarga korban pun tentu akan ikut melihat dan memantau setiap temuan yang dilakukan oleh petugas dan disiarkan media. Karena itu, hal-hal yang berada di luar batas kemanusiaan juga harus dipertimbangkan oleh awak media dengan nalar sehat.
Memang setelah itu ada permintaan maaf dari stasiun televisi tentang penayangan gambar yang bisa dikategorikan sadis tersebut. Saya mendapat informasi dari beberapa pihak, permintaan maaf dari pengelola stasiun televisi itu dilakukan setelah adanya protes dari banyak kalangan terhadap pemuatan gambar jenazah korban secara apa adanya tersebut.
Sebenarnya ini bukan yang pertama. Beberapa kali kita pernah menyaksikan penayangan gambar sadis di media televisi, termasuk beberapa korban akibat kerusuhan. Kala itu pula suara keberatan sudah banyak bergema atas penayangan beberapa gambar sadis tersebut. Anehnya, kita seperti tak pernah belajar dari peristiwa terdahulu. Terus saja terjadi dan berulang kisah serupa itu.
Padahal pada pasal 4 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dengan jelas dan tegas sudah menyebutkan agar setiap insan pers menghindari tayangan semacam itu. Di pasal itu jelas tertera kalimat: wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Dalam penafsiran pasal 4 KEJ itu (di poin c) disebutkan pula, bahwa sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Penayangan gambar yang sadis itu mengindikaksikan, bahwa media yang bersangkutan tak memiliki rasa belas kasihan dan bersikap kejamerhadap keluarga korban .
Mengejar peringkat (rating) atau eksklusivitas pemberitaan? Mungkin saja, tetapi saya lebih menduga tipisnya rasa kemanusiaan atau cara-cara beradab yang ditempuh pengelolanya dalam menjalankan tugasnya. Belum sampai menghalalkan segala cara memang, tetapi masih dalam batas mengabaikan etika dan norma secara wajar yang mestinya menjadi pegangan.
Selain pasal 4, ada pula pasal 2 KEJ yang secara tersirat juga menyatakan hal itu. Bunyi pasal 2 itu menyebutkan, bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik. Di penafsiran poin f untuk pasal 2 menyebutkan, bahwa wartawan Indonesia harus menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara.
Becermin dari peristiwa itu, sudah selayaknya insan pers berkaca diri. Mungkin perlu ada reorientasi saat pembekalan kepada para awak redaksi di semua media sebelum mereka menjalankan tugas jurnalistiknya. Selain keterampilan jurnalistik, awak redaksi mutlak harus memiliki pengetahuan soal kode etik, UU Pers, serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Semua itu mereka harus sering diingatkan, betapa pentingnya menjunjung tinggi etika dan norma yang ada. Ini karena hal tersebut merupakan produk dari sebuah peradabaan dan budaya suatu bangsa. Tanpa etika dan norma, berarti adab dan budaya kita sebagai manusia tergolong rendah, bahkan mungkin bisa dianggap hina.
Mudah-mudahan sikap tak terpuji dalam beberapa pemberitaan media ini semata-mata karena pengelolanya abai atau kurang peduli dalam mengedepankan etika atau norma. Semoga keteledoran awak media itu bukan merupakan cermin kehidupan masyarakat kita yang mulai meninggalkan etika, norma, rasa kemanusiaan, serta toleransi pada sesama.