REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah/Wartawan Republika
Pak Ahok yang terhormat, izinkan saya menyampaikan keresahan dan ragam kekhawatiran dari tak sedikit saudara Muslim, menyusul Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 67 Tahun 2014 yang Anda tandatangani langsung, meski sempat Anda sangkal di beberapa kesempatan (Instruksi Gubernur Ihwal Kurban Diprotes).
Ingub yang keluar pada 17 Juli 2014, secara jelas, pada poin 4 klausul a butir 1 berbunyi:” Melarang kegiatan pemotongan hewan di lokasi sekolah pendidikan dasar.” (Ini Bukti Ahok Larang Pemotongan Hewan Kurban di SD)
Pak Ahok tidak usah khawatir, ungkapan sederhana ini nihil muatan politik, seperti dugaan Anda tengah diagendakan para politikus itu. Jika muncul stigma, atau barangkali dimunculkan dengan sengaja, bahwa institusi yang menaungi saya ingin menjegal Anda, itu terlalu berlebihan.
Ini tak lebih dari panggilan dan tuntutan hati, bahwa agama saya mengajarkan klarifikasi dan saling bernasihat, bukan saling fitnah sana sini. Apalagi kita adalah saudara, meski bukan seakidah, ikatan kebangsaan sebagai warga Indonesia dan sesama anak Adam, menyatukan kita, Koh Ahok.
Pak Ahok, apa alasan yang mendasari pelarangan tersebut? Bila yang jadi dalih pelarangan kurban di sekolah dasar, adalah menjauhkan sadisme dan atau menghindarkan siswa dari trauma akibat menyaksikan langsung proses pemotongan hewan, mestinya bukan lantas dilarang.
Belum ada data yang kuat dan jamak bahwa pemotongan hewan kurban di sekolah dasar pemicu sadisme atau penyebab trauma berkepanjangan bagi siswa. Semoga pula, motif pelarangan bukan semata alasan menghindari lingkungan sekolah dari kotor dan bau tak sedap.
Ini soal teknis saja. Tidak ingin sekolah kotor, bukan malah dicari solusi bagaimana agar lokasi penyembelihan di lingkungan sekolah itu tetap bersih, toh juga setahun sekali. Bukan tiap hari, Pak Ahok. Usah lah dilarang.
Tetapi, jika ternyata memang ada nuansa agama, dan semoga saja tidak, Ingub ini akan sangat patut disayangkan. Jangan sampai isu yang berkembang justru, Pak Ahok memiliki agenda khusus dalam mendangkalkan keagamaan siswa-siswa Muslim di sekolah dasar.
Ini sama saja membawa kehidupan beragama kita, mundur ke belakang. Dan polemik yang beginian sangat kontraproduktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Pancasila dan UUD 1945, menjamin kebebasan menjalankan ibadah bagi pemeluknya. Kurban merupakan bagian ibadah tersebut dalam Islam. Dan Sistem Pendidikan Nasional, memberikan hak pelajar Muslim untuk mengetahui ajaran agama mereka di sekolah.
Pengenalan kurban sejak dini, juga sesuai dengan visi pendidikan, yakni mencetak pribadi yang beriman, bertakwa, dan beramal saleh. Saya yakin Pak Ahok paham yang demikian.
Semoga, Pak Ahok membaca atau minimal mendengar permintaan klarifikasi ini, agar tak lagi ada prasangka dan curiga di antara kita. Jika Anda tidak bisa mengintruksikan penyembelihan kurban di sekolah dasar, sebagai bentuk realiasi visi pendidikan keagamaan di sekolah, maka jangan lah Anda melarangnya.
Masih banyak persoalan di Ibu Kota yang lebih prioritas, ketimbang berjibaku dengan polemik ini. Gaya kepemimpinan Anda, bisa saja menjadi jawaban bagi ragam problematika di DKI Jakarta.
Sebab sampai detik ini Pak Ahok, pada tataran teoritis (belum pada tataran praktik di lapangan; dua hal yang berbeda), saya masih percaya apa yang dikatakan salah cendekiawan Muslim asal negeri seribu satu malam, Irak, yaitu Imam Ali bin Thawus, bahwa seorang pemimpin non-Muslim yang adil lebih baik daripada pemimpin Muslim yang zalim dan korup.
Terlebih, sistem demokrasi yang kita anut sekarang ini, memberikan ruang selebar-lebarnya bagi siapapun untuk tampil menjadi pemimpin. Saya yakin Anda paham betul tentang itu. Kekuasaan yang Anda pegang saat ini bukti bahwa demokrasi tak lagi rasis dan diskriminatif.
Dalam beberapa hal, saya juga menaruh hormat untuk Pak Ahok, meski banyak perkara yang saya kurang setuju dari Anda. Saya juga tak akan mempersoalkan jika kelak Anda jadi gubernur, tentu dengan syarat, Anda bersikap adil, dalam segala hal.
Termasuk dengan tidak membuat Ingub yang semacam ini. Jika Anda tidak berkomitmen dengan keadilan yang absolut seperti ini, maka Pak Ahok harus legowo, bila masyarakat Muslim di DKI, misalnya menolak Anda, dan seperti yang Anda sepakati juga ini adalah hak dalam berdemokrasi.
Bukan karena kebencian dan dendam, tetapi demokrasi adalah suara mayoritas yang bernurani, sekali pun terkadang tak bergema, bahkan sering ‘tertindas’.