REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Sejumlah pemimpin dunia, terutama di kawasan Timur Tengah, kini sedang dirisaukan dengan pergerakan kelompok garis keras yang bernama Da’isy. Yang terakhir ini merupakan pecahan atau nama lain dari Tandzim Al Qaidah di Irak dan Suriah.
Setelah berhasil menguasai Mosul, kota kedua terbesar di Irak, mereka terus bergerak untuk menjangkau daerah-daerah di sekitarnya. Sejumlah kawasan di perbatasan Irak-Suriah kini telah berhasil mereka kuasai.Dalam istilah pengamat Timur Tengah, Abdul Rahman Al Rasyid, bahaya Da’isy kini sudah mencapai depan gawang Arab Saudi, Yordania, dan Turki.
Pada awalnya, kelompok garis keras ini mengatasnamakan perjuangan mereka sebagai pembebasan masyarakat yang tertindas dan terzalimi oleh rezim penguasa Presiden Bashar Assad di Suriah. Juga membantu perjuangan kelompok-kelompok Sunni di Irak yang merasa dikucilkan oleh pemerintah Perdana Menteri Nuri Al Maliki yang menganut Syiah. Seperti diketahui, kelompok Sunni merupakan pendukung Presiden Saddam Husein yang digulingkan oleh pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat.
Ketika muncul perlawanan terhadap kekuasaan Presiden Bashar Assad sekitar tiga tahun lalu, sejumlah negara Arab memang sedang diguncang oleh revolusi rakyat untuk menggulingkan rezim penguasa diktator-otoriter. Revolusi rakyat yang kemudian dikenal dengan Al Rabi’ Al Araby alias Musim Semi Arab. Revolusi rakyat itu telah berhasil menggulingkan Presiden Tunisia Zainul Abidin bin Ali, Presiden Mesir Husni Mubarak, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, dan penguasa Libia Muammar Qadafi. Al Rabi’ Al Araby itu kemudian juga menjalar ke Suriah. Awalnya berupa unjuk rasa, lalu berkembang menjadi perlawanan bersenjata.
Saat berlangsung revolusi rakyat di Suriah ini masuklah orang-orang Alqaida untuk membantu melawan rezim Bashar Assad. Orang-orang Alqaida ini merupakan mereka yang selamat dari Afghanistan ketika diserang oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Mereka kemudian melarikan diri ke negara-negara yang sedang konflik seperti Irak dan Suriah.
Di Irak mereka bergabung dengan kelompok Sunni di wilayah Mosul dan sekitarnya. Di wilayah ini, Sunni merupakan mayoritas namun kecewa terhadap kebijakan pemerintahan pusat di Baghdad yang didominasi oleh Syiah. Sedangkan di Suriah mereka merapat ke kelompok-kelompok oposisi yang berideologi Sunni. Bashar Assad sendiri merupakan penganut Syiah Alawiyah.
Kekecewaan kelompok-kelompok Sunni Irak dan Suriah ini kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang Alqaida untuk dapat eksis di kedua negara tersebut dengan nama bermacam-macam. Seperti Jabhatu Al Nasrah, Ahraru Syam, Tandzimu Al Daulah Al Islamiyah fi Al Iraq wa Al Syam, ISIS, dan Da’isy. Media-media di Timur Tengah lebih sering menyebut kelompok ini sebagai Da’isy yang ingin mendirikan Negara Islam di Irak dan Syam (Suriah).
Kelompok Da’isy ini kemudian merekrut ribuan pemuda untuk bergabung. Terutama mereka yang marah terhadap rezim Bashar Assad dan pemerintahan PM Irak Nuri Al Maliki. Juga pemuda-pemuda dari berbagai negara. Para pemuda itu kemudian dilatih berperang. Mereka dicuci otaknya hingga siap menjalankan perintah ‘suci’. Termasuk melakukan bom bunuh diri di manapun mereka diperintahkan. Mereka juga siap menjalankan teror di negara-masing-masing. Intinya, para pemuda itu siap untuk diekspor menjadi teroris internasional yang beroperasi di mana saja.
Simaklah apa yang disampaikan seorang pemuda dari Kota Cardiff, Wales, yang bergabung dengan kelompok Da’isy sejak sekitar 18 bulan lalu sebagaimana dikutip Washington Post dan Al Sharq Al Awsat dari sebuah video. Pemuda ini bernama Nasir Mutsanna. ‘‘Apa yang kami pahami adalah tidak ada batas (negara). Kami telah ikut berperang di Suriah. Sebentar lagi kami akan pergi ke Irak untuk berjihad. Kami juga akan pergi ke Lebanon, Yordania atau ke mana pun sesuai dengan perintah Sheik Al Baghdadi (Abu Bakar Al Baghdadi, pemimpin tertinggi Da’isy).’’
Mutsanna menuturkan, keluarganya berasal dari Yaman dan kemudian hijrah ke Inggris. Sebelum ikut ‘jihad’, ia telah diterima di fakultas kedokteran di empat universitas di Inggris. Namun, ia lebih memilih ‘jihad’ daripada kuliah yang dikatakannya sangat membosankan.
Mutsanna-mustanna lain yang bergabung dengan kelompok Da’isy kini jumlahnya bisa puluhan ribu. Selain dari Irak dan Suriah, Al Sharq Al Awsat menyebutkan terdapat pemuda-pemuda dari berbagai negara Arab yang bergabung. Dari Arab Saudi saja diperkirakan tidak kurang dari seribu pemuda yang kini ikut ‘berjihad’ di Irak dan Suriah. Mereka sangat militan dan sangat taat pada perintah Sheikh Al Baghdadi. Itu sebabnya, kelompok Da’isy ini bisa dengan mudah menguasai Kota Mosul dan daerah-daerah di sekitarnya. Juga wilayah-wilayah di perbatasan Irak dengan Suriah.
Keberadaan Da’isy dan kelompok-kelompok garis keras lain yang semakin kuat di Irak dan Suriah ini kini menjadi problem tersendiri bagi negara-negara Arab lainnya. Di satu sisi, mereka mengecam pemerintahan PM Irak Nuri Al Maliki dan rezim Presiden Suriah Bashar Assad yang mereka anggap sebagai penyebab munculnya konflik berdarah dan tumbuh suburnya kelompok-kelompok garis keras.
Di sisi yang lain, menguatnya Da’isy -- yang meskipun sesama pengikut Sunni --, namun dianggap sangat membahayakan buat keamanan negara-negara Arab, terutama negara-negara Teluk. ‘Ideologi’ kekerasan yang mereka anut dan yang menghalalkan segala cara sungguh mengkhawatirkan.
Karena itu, Arab Saudi memasukkan Da’isy sebagai organisasi teroris yang dilarang keberadaannya di wilayah mereka. Bahkan sejumlah negara Arab kini berpandangan bahwa Da’isy dan kelompok garis keras lainnya lebih berbahaya daripada rezim Bashar Assad.
Intinya sebuah kekuasaan harus melibatkan semua komponen masyarakat. Kekuasaan yang didominasi kelompok-kelompok tertentu dan mengabaikan kelompok lain, seperti di Suriah dan Irak, justeru akan memunculkan sakit hati. Sakit hati yang kemudian bisa berubah menjadi konflik dan perlawanan. Konflik dan perlawanan yang akan menumbuhkan-suburkan bibit-bibit terorisme. Wallahu a’lam. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan.