Selasa 08 Apr 2014 18:46 WIB

Boneka Teddy Bear di Gelanggang Politik

Boneka Teddy Bear
Foto: latesthdwallpaper.com
Boneka Teddy Bear

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, wartawan Republika

Twitter: Sammy_Republika 

Pada ribuan abad sebelum Masehi, boneka telah hadir dalam peradaban. Saat itu, boneka dibuat dari tanah liat yang punya makna sebagai media ritual kepercayaan. 

Ratusan generasi berganti, boneka tak ikut mati. Sebaliknya, budaya boneka terus berkembang walau maknanya perlahan menghilang. 

Memasuki tahun Masehi, boneka tak lagi identik sebagai media ritual. Dia tak lagi sakral. Boneka sudah bukan lagi jadi semacam agama untuk dipercaya. 

Dia hanya sebatas media. Media untuk mewujudkan imajinasi balita. Media untuk menyalurkan emosi wanita.

Sejarah pun berputar, manusia tak lagi menuhankan boneka. Sebaliknya, dengan akal dan pikirannya, manusia jadi pencipta beraneka ragam boneka. Semua demi memuaskan selera manusia pula. 

Ada boneka binatang, ada boneka bayi, maupun boneka orang dewasa. Semua itu dibentuk berdasarkan kehendak si manusia, sang penciptanya.

Pada awal abad ke-20, pasaran boneka beruang mewabah di dunia. Ternyata, mewabahnya selera boneka beruang tak terlepas dari propaganda politik. 

Semua berawal pada 1902. Saat itu, Presiden Amerika Serikat, Theodore “Teddy” Roosevelt, menolak mengeksekusi anak beruang ketika berburu di Mississippi. 

Kisah ini kemudian diabadikan oleh seorang seniman Clifford Berryman dengan sebuah gambar kartun yang kemudian diterbitkan di Washington Post.   

Momentum kisah humanis itu dimanfaatkan pengusaha Morris dan Rose Michtom untuk menciptakan boneka beruang. Boneka itu kemudian dipajang bersama karikatur kisah Roosevelt dan beruang Mississippi di jendela toko mainan di Brooklyn. 

Mereka lantas melabeli boneka itu dengan sebutan "Teddy Bear", yang diadopsi dari nama panggilan Roosevelt. Implikasi dari strategi bisnis Morris dan Rose Michtom sangat luar biasa. Boneka berimplikasi besar secara politik bagi citra Roosevelt. Boneka itu pun menghasilkan propaganda bisnis dan politik paling efektif dalam sejarah. 

Roosevelt pun dikenang dalam politik Amerika sebagai salah satu presiden paling humanis. Sedangkan, boneka Teddy Bear hingga kini masih menjadi boneka paling dikenal dalam sejarah manusia. Bahkan di Indonesia, artis dan calon presiden sama-sama memeluknya. 

Propaganda Boneka

Boneka memang sedang jadi tren pemberitaan nasional akhir-akhir ini. Tak hanya secara fisik,  makna konotasi boneka ramai menghiasi pemberitaan layar kaca.

Ini tak terlepas foto calon presiden Partai Golkar, Aburizal "Ical" Bakrie, yang terlihat sedang memeluk boneka beruang, alias Teddy Bear. Yang membuat foto boneka itu jadi "panas" adalah si pemilik boneka yang ternyata adalah artis cantik, Olivia Zalianty.

Memeluk boneka tentu bukan hal yang salah. Yang salah adalah bila memeluk pemilik si boneka. Kendati dua belah pihak telah mengklarifikasi, isu tak mau berhenti. Ical pun terus kena getahnya. Bahkan, kemudian muncul akronim baru yang ramai beredar di media sosial, ARB = Aburizal Bear.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pancasila, Hukum, dan Demokrasi Universitas Negeri Semarang (Puskadhdem-Unnes), Arif Hidayat menilai, gambar boneka yang dipeluk Ical menciptakan persepsi dan pencitraan tersendiri. Makna dari pencitraan beruang Ical dan Roosevelt pun bisa jadi sama, yakni kasih sayang. Namun, objek kasih sayangnya bisa pula diartikan berbeda.

Arif melanjutkan, hasil pencitraan boneka yang disematkan ke Ical pun jadi negatif. "Belum selesai Lapindo kini muncul masalah video (Ical dan bonekanya). Ini jadi memori pencitraan yang buruk," kata Arif dalam keterangannya, Selasa (8/4).

Pencitraan boneka tak hanya menerpa, Ical. Calon presiden PDI Perjuangan, Joko Widodo (Jokowi) juga dikaitkan dengan boneka. Namun boneka yang dikaitkan bukan berarti harfiah melainkan konotatif.

Kaitan Jokowi dan boneka berawal dari serangan politikus PKS, Fahri Hamzah. Fahri mengaitkan pria asal Solo itu dengan sebutan capres boneka, alias capres yang dikendalikan pihak lain.

Serangan soal boneka ini langsung memantik reaksi PDI Perjuangan. Politikus PDI Perjuangan Achmad Basarah menilai, ada yang sengaja menggiring opini dengan mengaitkan Jokowi dengan sebutan boneka.

Tapi, lanjut dia, sepak terjang Jokowi selama ini jauh dari kata pemimpin boneka. "Pernyataan tentang Jokowi sebagai capres boneka adalah pernyataan yang sesat," kata Wakil Sekjen PDI-P Achmad Basarah di Jakarta, Jumat (4/4).

Basarah menilai, sejarah telah membuktikan bahwa Jokowi adalah pemimpin yang sukses. Mulai dari sukses memimpin usaha, memimpin Kota Solo, serta memimpin ibu kota. Baginya mustahil seseorang yang sukses sebagai pengusaha dan memimpin kota punya sifat yang mudah dikendalikan, bak boneka.

Laiknya ditegaskan Basarah, seorang pengusaha jauh dari konotasi boneka. Sebaliknya, pengusaha adalah yang mencipta. Mulai dari mencipta furniture kayu seperti Jokowi, atau mencipta propaganda boneka seperti yang dilakukan Morris dan Rose Michtom.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement