Selasa 08 Apr 2014 06:00 WIB

'Aku Memilih!'

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Saya termasuk orang yang mengikuti secara teratur acara siaran RRI, khususnya Pro 3, karena sangat kaya informasi penting dari seluruh Tanah Air, termasuk dari daerah perbatasan. Dalam minggu-minggu menjelang pileg ini, Pro 3 telah mewawancarai berbagai lapisan masyarakat di perdesaan dan perkotaan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan pemilu. Petani Nganjuk misalnya tidak akan ikut memilih dengan alasan tidak ada kaitannya dengan nasib mereka yang belum mengalami perubahan ke arah perbaikan. Begitu para nelayan di Indramayu akan tetap melaut pada 9 April, demi mengais rezki untuk menopang hidup sehari-hari. Suara senada dapat didengar di mana-mana di seluruh pelosok Indonesia.

Apa maknanya ini? Mereka bukanlah warga negara dalam kategori golput (golongan putih) dengan ideologi perlawanannya terhadap sistem otoritarian yang pertama kali muncul dalam Pemilu 1971. Para petani dan nelayan itu sebenarnya menyampaikan pesan sangat serius kepada kaum elite dan pemimpin formal negeri ini: hentikan mengumbar janji kosong dalam pemilu dan tengoklah nasib kami yang sengsara, nyaris tidak ada perbaikan selama puluhan tahun! Mungkin sejak zaman VOC (Kompeni Hindia Timur), 1602-1799, kebanyakan nasib petani dan nelayan kita belum juga beranjak maju. Slogan masyarakat adil makmur yang sudah diteriakkan selama sekian dasa warsa masih tetap saja menggantung di langit tinggi.

Bagi rakyat dalam kelas ini tidak banyak yang dituntut. Jika makan sudah cukup, ada tempat tinggal sederhana, anak bisa sekolah, bila sakit ada obat, rasanya hidup itu sudah senang. Jumlah mereka dalam kategori ini ada puluhan juta. Sudah hampir 70 tahun merdeka, hanya sedikit di antara mereka yang telah mengalami mobilitas sosial, berkat akses kepada dunia pendidikan. Strategi pembangunan nasional Indonesia yang pro-pasar sejak hampir setengah abad terakhir telah semakin memperburuk kondisi hidup para petani dan nelayan kita. Maka sikap mereka yang tidak hirau dengan serba pemilu dapat difahami, sekalipun bagi penguatan sistem demokrasi merugikan.

Gema pileg 9 April besok pagi pada tingkat kampung saya di Nogotirto, Yogyakarta, hampir tak terasa. Teman-teman jama’ah di masjid tidak tahu partai apa atau siapa wakil yang akan dipilih. Kuantitas dan kualitas sosialisasi calon legislator lemah sekali. Sekiranya tidak sempat menonton teve dalam acara pemilu, rasanya suasana politik masih adem-ayem saja. Sungguh berat membangun sistem demokrasi jika para pelakunya dalam sistem kepartaian seperti sekarang ini minus gagasan, defisit cita-cita kenegaraan. Bisa dibayangkan betapa parahnya situasi perpolitikan kita, jika politisi yang serba minus dan defisit ini terpilih menjadi anggota dewan, apa yang bisa mereka sumbangkan untuk perbaikan nasib petani dan nelayan.

Tetapi di balik semua kekurangan dan kedunguan itu, saya mengharapan agar kita semua tetap datang ke TPS (tempat pemungutan suara) untuk memberikan suara. Perasaan yang tidak puas, dan bahkan mungkin sebal, mohon dikendalikan dulu untuk tetap memilih. Maka judul Resonansi kali ini: “Aku Memilih!” adalah sikap politik saya sebagai warga negara berusia lanjut, demi memperkuat sistem demokrasi yang sedang menunggu dengan gelisah perbaikan kualitasnya, sehingga tujuannya untuk meratakan keadilan dan kesejahteraan bersama dapat dirasakan oleh seluruh penduduk. Jika tujuan itu tercapai, maka percayalah para petani dan nelayan yang skeptik di atas akan berubah menjadi warga negara pro-aktif dan gairah untuk memberikan suara dalam pemilu sebagai sarana utama bagi tegaknya sistem demokrasi yang kuat dan sehat.

Selamat antri di TPS untuk melaksanakan tugas konstitusi anda: “Aku Memilih!” Ajak teman-teman lain untuk berbuat serupa. Perbaikan sistem demokrasi akan banyak ditentukan oleh keikutsertaan anda dalam proses pemilu. Jangan bermimpi bahwa sistem politik anti-demokrasi akan menyelamatkan Indonesia ke depan. Jika masih ada pihak yang ingin membunuh demokrasi, camkan sungguh-sungguh peringatan keras Bung Hatta, 54 tahun yang lalu: “Lenyap demokrasi berarti lenyap Indonesia Merdeka.”

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement