Rabu 02 Apr 2014 06:00 WIB

Harapan Setelah Pesta

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Dari Pemilu ke Pemilu, demokrasi berhenti sebagai pesta yang gaduh dan seronok. Setiap sudut kota dan desa, jalanan dan ruang publik menjelma menjadi ruang penampakan wajah para politisi; ruang media jumbuh dengan kampanye politik. Triliunan uang rakyat terkuras untuk memenuhi extravaganza pesta demokrasi ini.

Di tengah kegaduhan pesta, banyak orang mabuk kepayang yang melupakan pokok persoalan. Bahwa demokrasi lebih dari sekadar ledakan perhimpunan, pesta pemilihan, atau rebutan kekuasaan, tapi modus kekuasaan yang seharusnya lebih menjunjung tinggi daulat rakyat dengan mewujudkan tujuan negara, seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar

1945.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa surplus kebebasan yang menyertai Orde Reformasi tidak serta merta mampu membebaskan rakyat dari belenggu penderitaan. Terbukti pula bahwa kebebasan saja tidak bisa mengatasi tirani (pemusatan dan kezaliman kekuasaan). Saatnya mempertimbangkan penghayatan klasik, seperti dalam tradisi Islam, yang memperhadapkan tirani bukan dengan kebebasan, melainkan dengan keadilan. Dalam perspektif ini, masalah Indonesia bukanlah defisit kebebasan, melainkan defisit keadilan.

Sumber ketidakadilan politik hari ini bermula dari melambungnya ongkos kekuasaan. Banjir uang yang mengalir ke dunia politik membawa polusi pada kehidupan publik. Segala nilai dikonversikan dalam nilai uang. Kepentingan investor nyaris selalu dimenangkan ketika nilai kebajikan sipil dan ideal kewargaan tak memiliki sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri.

Hubungan politik digantikan oleh hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi. Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan aku di atas kita yang menimbulkan penolakan atas segala yang civic dan publik.

Ketika uang menjadi bahasa politik, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan atau dalam keserakahan orang kaya baru, keampuhan demokrasi elektoral lekas ambruk. Suara bisa dibeli dan dimanipulasi. Idealisme pemilih dirobohkan, otoritas Komisi Pemilihan Umum dihancurkan. Ketika nilai-nilai idealisme kewargaan tidak memiliki saluran efektif, nilai-nilai kepentingan investor mendikte kebijakan politik.

Di bawah kendali “tirani modal”, demokrasi cuma mempersoalkan bagaimana caranya menang dan mendapatkan keuntungan. Demokrasi melupakan bahasa “hikmat-kebijaksanaan” yang mempertanyakan, “apa yang benar” yang dipersyaratkan dalam sila keempat dari Pancasila.

Dengan hilangnya bahasa hikmat-kebijaksanaan, gerak demokrasi menjauh dari cita-cita keadilan sosial. Demokrasi yang dijalankan secara tidak hati-hati dan tidak disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya dan falsafah bangsa bisa menyebabkan ketidakadilan dan penderitaan rakyat serta gagal memberikan martabat dan pemerintahan yang baik.

Meski pesta demokrasi dirayakan dengan berbagai pemilihan langsung, namun keluaran yang dihasilkan justru memenuhi sisi negatif dari poliarki yang dibayangan Aristoteles: pemerintahan mediokritas yang didarahi oleh praktik politik kotor di bawah penguasaan uang. Bawaan negatif itu tak terhindarkan karena demokrasi Indonesia dirayakan oleh kedangkalan, tanpa memberi ruang bagi kedalaman etika dan penalaran.

Dalam demokrasi tanpa kedalaman etika, seperti dalam aliran sungai, hal-hal sepele mengambang di permukaan, membiarkah hal-hal berbobot substantif tenggelam. Politik sebagai ruang penampakan sekadar dihiasi oleh basa-basi etiket; pola gerak tutur sebagai teknis pengelolaan kesan. Sedangkan substansi etika politik, sebagai perkhidmatan kepada kebajikan hidup bersama, dikaramkan.

Krisis kedalaman etika ini diperburuk oleh krisis kedalaman penalaran. Berbagai cacat yang tampak pada hasil amandamen konstitusi, produk perundang-undangan, dan desain institusi demokrasi mencerminkan merosotnya kualitas nalar publik. Ke mana saja kita berpaling, sulit menemukan para politisi dan pekerja intelektual yang secara tekun mengembangkan penalaran secara jernih dan mendalam.

Upaya menyemai politik harapan harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan, lewat aktualisasi politik harapan.

Untuk merealisasikan politik harapan suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Pada tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Pada tahap kedua, untuk mencapai sesuatu pemimpin mendominasi dan memarginalkan orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya, justru membuatnya apatis.

Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan bekerja sama menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong-royong merealisasikan kebajikan bersama.

Semua pihak harus menyadari bahwa politik, sebagaimana dikatakan Hannah Arendt, adalah suatu “ruang penjelmaan” (space of appearance) yang memungkinkan dan merintangi pencapaian manusia di segala bidang. Oleh karena itu, terang-gelapnya langit harapan di negeri ini sangat ditentukan oleh warna politik kita.

Para aktor politik harus insyaf bahwa ruang kebebasan yang memungkinkannya berkuasa hanya dapat dipertahankan sejauh dipertautkan dengan tanggungjawab dan penghormatan pada yang lain. Bermula dari keinsyafan para pemimpin di pusat teladan, semoga akan mengalir berkah ke akar rumput, membawa bangsa keluar dari kelam krisis menuju terang harapan.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement