Rabu 11 Sep 2013 21:10 WIB
Resonansi

Memperkuat Kapasitas Negara

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Yudi Latif

Pergeseran dari Orde Baru ke Orde Reformasi sering tampak sebagai pergeseran dari situasi otoriter menuju situasi lemah otoritas. Padahal, demokrasi memang tidak menghendaki yang pertama, tapi tak bisa jalan tanpa yang kedua. Orde Reformasi melahirkan begitu banyak peraturan, tetapi kapasitas negara untuk menegakkan peraturan itu tampak lemah.

Kelemahan tata kelola kenegaraan (governance) kian disadari sebagai akar persoalan. Namun, tentang bagaimana cara membenahinya, kekaburan perspektif masih menyelimuti para perumus kebijakan. Kalaupun kejernihan pandangan telah terpancar, kelemahan direksi dan eksekusi menghambat penyelesaian.

Kekaburan yang paling mencolok adalah pencampurbauran antara "cakupan" (scope) dan "kekuatan" (strength) negara; antara ruang lingkup fungsi negara dan kapasitas institusi negara untuk menegakkan tata aturan. "Negara kuat" sering diasosiasikan dengan luasnya keterlibatan negara dalam mengatur urusan kehidupan. Padahal, negara dengan lingkup intervensi yang luas belum tentu memiliki kemampuan, bahkan sering kali tak berdaya untuk menciptakan serta menegakkan hukum dan kebijakan.

Sebaliknya, bisa saja suatu negara yang memiliki lingkup peran yang terbatas, tetapi dalam batas-batas perannya itu justru memiliki kemampuan untuk menegakkan hukum dan kebijakan secara optimal dan kuat. Dengan kata lain, lemah-kuatnya negara tidak dilihat dari seberapa luas peran dan fungsinya, tetapi dari kapasitas dan efektivitas institusinya.

Namun, upaya untuk memperkuat kapasitas negara dan efisiensi pembangunan tidaklah sesederhana proposal yang kerap diajukan oleh ekonom propasar. Dalam pandangan mereka, luasnya peran negara seperti di Indonesia merupakan penyebab utama timbulnya berbagai disfungsi dan inefisiensi ekonomi yang menghambat pertumbuhan. Maka, solusi yang segera diajukan adalah penggembosan sektor negara lewat privatisasi dan pemberdayaan pasar.

Padahal, penciutan lingkup keterlibatan negara tidaklah otomatis akan membuat tata kelola kenegaraan lebih efektif. Tanpa dibarengi oleh peningkatan kapasitas negara untuk merencanakan dan mengeksekusi kebijakan serta menegakkan hukum secara tegas, bersih, dan transparan, penciutan lingkup negara justru bisa menghadirkan kekacauan yang lebih parah.

Dalam hal ini, ada baiknya mendengar pengakuan Milton Friedman (2002), seorang resi ortodoks dari ekonomi pasar bebas. Friedman menyebutkan bahwa hingga dekade yang lalu, ia hanya memiliki tiga kata bagi negara-negara yang sedang transisi dari sosialisme: privatisasi, privatisasi, dan privatisasi. "Namun, saya keliru," ujarnya. "Saya berubah pikiran bahwa memperkuat rule of law barangkali lebih mendasar ketimbang privatisasi."

Pada 1990-an para ekonom di balik Washington Consensus menekankan perlunya perlucutan peran negara hingga ke level residual dengan kepercayaan yang tinggi bahwa pasar bisa mengatur dirinya sendiri. Resep baku segera disodorkan meliputi pengurangan proteksi dan subsidi, privatisasi, dan deregulasi. Namun, krisis ekonomi yang menghantam Asia pada 1997-1998 memberikan pelajaran penting tentang bahaya liberalisasi ekonomi di dalam ketiadaan institusi pengawasan yang tepat dan kuat.

Para perancang kebijakan sering kali tak memiliki daya antisipatif bahwa dalam proses pengurangan lingkup negara itu, kebanyakan negara berkembang sering kali dihadapkan pada problema baru yang lebih pelik. Hal ini bisa berupa melemahnya kekuatan negara atau perlunya tipe-tipe baru kapabilitas negara yang justru belum tersedia atau masih sangat lemah. Selain itu, upaya restrukturisasi peran negara juga tidak bisa tambal sulam karena bisa menimbulkan situasi-situasi paradoks yang bisa saling menegasikan.

Indonesia dihadapkan pada situasi pelik seperti ini. Berlalunya Orde Baru mewariskan kepada rezim Orde Reformasi berupa negara dengan scope yang luas, yang berpretensi bahkan mengatur urusan busana. Namun, berbeda dengan negara-negara kesejahteraan di Eropa, yang menyepadankan antara cakupan yang luas dan kapasitas/kekuatan negara yang kuat pula, di Indonesia luasnya cakupan negara itu berbanding terbalik dengan lemahnya kapasitas negara untuk menegakkan hukum dan kebijakan. Dalam situasi krisis ekonomi dan keuangan negara, negara dengan cakupan yang luas seperti itu semakin tak berdaya untuk menjalankan kebijakan, bahkan untuk membiayai dirinya sendiri.

Bisa dipahami, mengapa ada aspirasi untuk memotong peran-peran negara dengan lebih memberdayakan peran pasar dan masyarakat sipil. Namun, tanpa komitmen pada penguatan kapasitas negara lewat pemberdayaan institusi pengawasan dan peradilan, efek yang ditimbulkan justru disorganisasi sosial yang lebih parah. Kebijakan privatisasi, misalnya, memberi peluang bagi rent-seeking dalam penjualan aset-aset BUMN atau pembobolan keuangan negara seperti dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bank Century yang merugikan kepentingan publik dalam skala yang tak tepermanai.

Karena itu, upaya efisiensi ekonomi lewat pemberdayaan pasar juga bersifat tambal sulam karena tak terintegrasi dengan upaya efisiensi di sektor-sektor lainnya. Dalam ketundukan pada Washington Consensus, pemerintahan SBY segera menghapuskan (mengurangi) subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan dalih efisiensi. Namun, di sisi lain, kabinet SBY dibuat gemuk dengan jumlah menteri yang terbesar sejak akhir Orde Lama.

Lebih dari itu, berbilang-bilang lembaga kenegaraan baru dibuat dengan peran yang tumpang-tindih serta kapasitas enforcement yang mandul. Presiden juga masih merasa perlu mengangkat staf kepresidenan, unit kerja, wakil menteri, dan dewan penasihat presiden. Semuanya ini membuat peran-peran negara kembali diperluas dengan kekuatan yang lemah. Singkat kata, inilah fenomena pemerintahan yang kuat syahwat, tapi lemah daya!

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement