Rabu 31 Jul 2013 07:00 WIB
Resonansi

Menghikmati Kesunyian Politik

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif

Masalah kebebalan otak dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara boleh jadi karena kehidupan politik dan kebudayaan kita diwarnai oleh surplus kegaduhan dan defisit kesunyian. Demokrasi dirayakan dengan pesta jor-joran, tetapi miskin substansi dan refleksi; budaya dipadati tontonan ingar-bingar, dengan kedangkalan sensitivitas etis dan fajar budi; agama diekspresikan dalam kegaduhan yang menyerang, miskin perenungan dan rasa kemanusiaan.

Ekspresi kebangsaan yang dangkal dan menyerang seperti itulah yang dulu dikhawatirkan oleh Agus Salim. “Atas dasar perhubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia tidaklah akan dapat ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan .... Maka, sebagai dalam tiap-tiap hal yang mengenai dunia kita, demikian juga dalam cinta tanah air, kita mesti menunjukkan cita-cita yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan, dan kutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah SWT.”

Menanggapi kekhawatiran tersebut, Soekarno menulis di Suluh Indonesia (12 Agustus 1928), “Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-timuran dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke-baratan yang menurut perkataan CR Das adalah suatu nasionalisme yang menyerang-nyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluannya sendiri. Suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita hidup dalam roh.”

Itulah sebabnya, mengapa para pendiri bangsa ini, bahkan golongan komunis sekalipun, menyepakati prinsip Ketuhanan sebagai salah satu filosofi dasar kenegaraan. Menurut Mohammad Hatta, perubahan posisi sila Ketuhanan dari posisi pengunci (sila kelima) dalam Pidato Soekarno 1 Juni 1945, menjadi posisi pembuka (sila pertama), mengandung makna bahwa negara ’memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat’. Fundamen moral menjadi landasan dari fundamen politik (sila kedua sampai dengan kelima).

Meski demikian, jarak dari idealitas ke realitas kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini jauh panggang dari api. Jika dulu Agus Salim menengarai watak kebangsaan yang dangkal dan menyerang itu pada kecenderungan nasionalisme Eropa, ternyata watak kebangsaan seperti itu juga terkandung dalam kebangsaan kita. Hanya saja, karena mentalitas kebangsaan kita bak katak dalam tempurung, kecenderungan kebebalan dan semangat menyerang itu diarahkan pada sesama bangsa sendiri.

Dalam kebisingan pesta-pora pemimpin politik, watak menimbun dan snobisme yang mereka kembangkan menempatkan ’negara’ sebagai kuburan bagi rakyatnya. Dalam konsumerisme yang dipromosikan industri budaya, ’roh’ kebangsaan sebagai ’perkakas Tuhan’ terkubur dalam gairah komodifikasi. Dalam Ketuhanan yang gaduh dan menyerang, fundamen moral terkubur oleh politisasi agama.

Dalam situasi kebebalan kegaduhan itu, ibadah puasa sesungguhnya merupakan momen penemuan kedalaman kesunyian. Kata shaum (puasa) sering dinisbatkan pada proses penenangan, seperti angin kencang yang perlahan reda (shâmat al-rîh). Kata inipun berarti usaha pengendalian, seperti penambatan kuda liar (mashâm al-faras).

Namun celakanya, momen untuk menghikmati kesunyian inipun ternyata dimeriahkan oleh kegaduhan. Bahkan di malam hari, saat tenang untuk tafakur dan tadzakkur (berzikir), ritual buka bersama dan sajian industri media membuat malam terasa lebih bising dari hari-hari biasa.

Di dalam kegaduhan, apakah bisa dihayati Ketuhanan? Inti Ketuhanan adalah bercengkerama dengan kekudusan (numinous). Hanya dalam sunyi, kedirian mudah menyatu dalam kekudusan. Secara kuat hal ini dibahasakan oleh Amir Hamzah, ”Sunyi itu kudus”. Dalam kesunyian, menurut Abraham Maslow, kebatinan mikrokosmos menyatu dalam kebatinan makrokosmos; tidak ada oposisi, kesenjangan dan perbedaan antara ego dan kosmos: bahwa bahasa jiwa merupakan vibrasi dari semesta. Dan suatu upaya aktualisasi diri dalam puncaknya yang tertinggi dan terdalam adalah usaha meleburkan diri dengan kosmos bagi penemuan kebenaran, keindahan, dan keadilan tertinggi.

Menjadi meragukan, apakah bangsa ini benar-benar religius? Apakah sila Ketuhanan benar-benar menjadi landasan moralitas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara? Nama Tuhan kerap diseru, tetapi Tuhan sendiri sebagai manifestasi kebenaran, keindahan, dan keadilan tertinggi telah lama menghilang, terusir oleh kedangkalan dan kegaduhan.

Puasa dimaksudkan sebagai proses pelatihan untuk menghadirkan Tuhan dalam proses individuasi, ketika amal perbuatan tidak didasarkan pada pertimbangan orang lain, melainkan karena pertanggungjawaban pribadi di jalan sunyi. Seperti kata ’Ali bin Abi Thalib, ”Sepatutnya seorang hamba merasakan kehadiran Tuhan di waktu sendirian (ketika tidak dilihat orang banyak), memelihara dirinya dari segala cela, dan bertambah kebaikannya ketika usianya bertambah tua.”

Hanya dalam kesunyian pribadi yang bertanggung jawab, Ketuhanan bisa membawa kehidupan publik yang damai dan sentosa.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement