Sabtu 27 Jul 2013 07:00 WIB
Resonansi

Hanya Butuh 11 Orang

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia

“Kenapa sih cari 11 orang saja susah benar?”

Pertanyaan ini sering muncul ketika kesebelasan sepak bola Indonesia selalu keok saat melawan tim-tim sepak bola dari luar negeri. Terdengar lucu, tapi ada benarnya karena Indonesia dengan populasi 238 juta jiwa belum juga berhasil menemukan 11 orang terbaik yang betul-betul bisa bermain bola pada level internasional.

Juni lalu, Indonesia dikalahkan 3-0 oleh timnas Belanda yang jumlah penduduknya sekitar 17 juta. Lebih parah lagi, tiga tahun sebelumnya, pada 2010, timnas Indonesia disikat 7-1 oleh Uruguay yang hanya berpenduduk tiga jutaan.

Baru-baru ini oleh Arsenal, Indonesia dilibas 7-0, dikalahkan Liverpool 2-0, dan kalah pula oleh Chelsea 8-1, yang semuanya merupakan klub asal Inggris. Semua menambah catatan atas inferioritas bangsa Indonesia di bidang sepak bola.

Meski awam tentang bola, saya memikirkan hal ini cukup serius. Mencoba mencari alasan yang pantas dikemukakan.

Jika dibilang tidak merakyat, sepertinya sepak bola adalah olahraga paling merakyat di Tanah Air, tidak kalah dengan Brasil yang jumlah penduduknya tidak terlalu berbeda dengan Indonesia. Yang berbeda adalah Brasil menghasilkan lebih dari 1.000 pemain yang merumput di Eropa dan menjuarai piala dunia beberapa kali, sementara kita tidak.

Kalau dibilang fasilitas, harus diakui Indonesia memang kalah dari Eropa atau negara maju di Asia, tetapi Irak pernah menjadi juara Asia pada 2007. Padahal, saat itu negara dalam keadaan perang, para pemain tidak digaji, dan tim sepak bola mereka harus meminjam lapangan bola di Yordania untuk berlatih. Dan, jika dibilang karena bangsa kita tidak kompak, Irak ketika itu bahkan antarpemain sempat saling tidak berbicara karena berselisih sekte agama.

Kalau dibilang ukuran tubuh bangsa Indonesia yang kecil, timnas Spanyol rata-rata tingginya sama dengan pemain Indonesia, sekitar 170-an cm. Bahkan, pemain terbaik dunia, Lionel Messi, tingginya juga sama dengan rata-rata penduduk Indonesia, mungkin malah lebih pendek.

Kembali ke pertanyaan awal, mengapa begitu sulit menemukan 11 orang dari bangsa Indonesia yang bisa bermain di kelas internasional? Saatnya membuang semua alasan atas segala kegagalan, yang ujung-ujungnya hanya akan menjadi pembenaran. Percaya bahwa sebagaimana negara lain, Indonesia punya segala potensi untuk berkibar. Jika kita percaya bisa, kita akan fokus untuk meningkatkan prestasi.

Evaluasi pendidikan dan visi barang kali perlu dilakukan. Selama ini Indonesia telah menghasilkan banyak pemain sepak bola namun masih di bawah standar internasional.

Saya justru menyadari ini ketika melihat anak dan staf di kantor bermain PES (Pro Evolution Soccer 2013) yang memberi nilai atas semua pemain. Pemain Indonesia diberi nilai rata-rata tujuh dan paling tinggi delapanan sedangkan pemain Eropa dan klub ternama mendapat skor rata-rata di atas 8,5 sampai 9,8 atau 10.

Mungkinkah di sini kesalahannya? Kita punya ribuan pemain berbakat dan puluhan ribu bahkan ratusan ribu pemuda yang tertarik di sepak bola, tapi tidak berhasil mengasah bakat untuk menjadikan 11 orang saja di antaranya memiliki skor 8,5 atau di atas 9. Katakanlah kita punya 100 ribu orang yang mempunyai nilai 7 sedangkan Uruguay hanya punya 20 orang bernilai 8 dan 1.000 orang bernilai 7, karena yang dibutuhkan hanya 11 orang maka kita kalah.

Mengapa saya menulis sepak bola yang bukan bidang yang saya kuasai? Sepak bola bukan lagi sekadar olahraga, di dalamnya ada kebanggaan, nasionalisme, masa depan, dan berbagai hal yang bisa memberi dorongan baru bagi bangsa ini.

Putra saya bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Katanya, jika ia menjadi pemain sepak bola, ia ingin menjadi inspirasi dunia, kebanggaan bangsa Indonesia dan Islam. Bungsu saya tersebut begitu bangga melihat Demba Ba yang selalu sujud seusai menyarangkan gol.

Ia begitu senang mendengar Bayern Muenchen menyediakan mushala untuk pemain Muslim. Ikut gembira melihat Cristiano Ronaldo yang dengan bangga melelang sepatunya untuk anak-anak di Palestina. Sepak bola kini bisa menjadi ladang dakwah.

Semoga saja anak saya dan ribuan anak Indonesia yang mempunyai cita-cita mulia membangun bangsa melalui sepak bola mempunyai kesempatan lebih baik mengukir masa depan. Kepedulian tulus dari berbagai pihak terkait sangat dibutuhkan, alih-alih memikirkan cara mengeruk keuntungan pribadi dari sepak bola di Tanah Air.

Kembali merenungi berdatangannya tim besar dunia di Indonesia, semoga bukan hanya sekadar hiburan, tapi bisa membangkitkan impian bangsa Indonesia untuk menjadi pemenang di sepak bola dunia.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement