REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Budi Prasetyo
Pihak kepolisian kembali menjadi sorotan kaum Muslimin. Bukan karena prestasinya mengungkap pelanggaran hukum, namun kali ini karena kontroversi pelarangan jilbab bagi polisi wanita (polwan). Kontoversi ini mencuat setelah ada laporan masuk ke MUI bahwa pihak kepolisian melarang penggunaan jilbab.
Kontroversi memanas ketika jawaban resmi Polri melalui Kabagpenum Polri Kombes Pol Agus Rianto, larangan jilbab semata-mata karena masalah anggaran. Banyak pihak mengecam kebijakan Polri ini, tidak saja kaum Muslim, tetapi juga Komnas HAM.
Polri sebagai representasi negara seharusnya menjujung tinggi nilai-nilai HAM. Tidak hanya itu, negara harus konsisten dengan UUD 1945 yang secara jelas mengatur tentang kebebasan seseorang untuk memeluk dan menjalankan agamanya.
Sebagai institusi penegak hukum, selayaknya Polri berdiri paling depan dalam penegakan hukum tersebut. Larangan berjilbab dalam konteks ini ada pengingkaran institusi ini terhadap penegakan UUD 1945 yang merupakan dasar berdirinya negara. Dalam masalah jilbab ini, Polri hendaknya harus segara mencabut larangan jilbab ini dan menghargai setiap bentuk kebebasan beragama yang dijamin oleh undang-undang.
Wajib dilindungi
Dalam konteks HAM, sejatinya jilbab telah masuk pada forum internum (kebebasan internal). Setiap manusia berhak untuk bebas berpikir (thought), bersikap sesuai hati nurani (conscience), dan menganut suatu agama (religion) atau keyakinan (belief) pilihannya sendiri. Sudah menjadi keputusan universal bahwa hak-hak tersebut mutlak, yakni tidak dapat dikurangi atau dibatasi oleh siapa pun, kapan pun, dan dimana pun (non-derogable).
Jilbab menjadi bagian dari forum internum, sebab penggunaannya merupakan hasil dari sebuah pengembangan pemikiran dan penafsiran terhadap keyakinan yang dianut, yakni Islam. Dalam konteks HAM, hal itu harus dilindungi, sebagai sebuah bentuk penafsiran dan pemikiran.
Setiap orang juga bebas menjalankan agama atau keyakinannya dengan ibadah dan pengamalan (forum eksternum). Dari konteks ini, pembatasan menggunakan jilbab hanya boleh dilakukan berdasarkan hukum. Yakni, melindungi keamanan, kesehatan, atau hak-hak dan kebebasan yang mendasar.
Dari berita yang beredar di banyak media, pembuatan larangan jilbab di Prancis bukan karena alasan yang dibenarkan. Karena, memang tidak ada alasan pembenaran bagi Prancis untuk melarang penggunaan jilbab ini.
Tentunya, sebagai institusi negara, Polri harus bisa melakukan perlindungan (protect), pemenuhan (fulfill), dan menghormati (respect) terhadap HAM. Negara seringkali abai dalam kewajibannya melindungi, memenuhi, dan menghormati HAM.
Indonesia masih menjadi negara yang pemerintahannya menjadi salah satu pemerintahan yang masuk dalam daftar pelanggar HAM. Pelanggaran-pelanggaran HAM sering terjadi dan negara tidak mampu berbuat banyak terhadap kasus-kasus tersebut.
Seringkali pula negara bersikap ambigu dalam penegakan HAM, seperti halnya terhadap demokrasi. HAM dan demokrasi diperjuangkan ketika menguntungkan rezim. Tetapi, menjadi musuh saat HAM dan demokrasi tersebut mengancam eksistensi kekuasaan sebuah rezim. Tentunya, pemerintah sadar larangan penggunaan jilbab merupakan sebuah pelanggaran dan harus segera diakhiri.
Stigma negatif
Stigmatisasi terhadap Islam yang seringkali digembar-gemborkan pihak tidak bertanggung jawab, telah membangun sebuah citra negatif terhadap keberadaan simbol-simbol Islam. Islam dilihat para penyebar kebencian sebagai sebuah ancaman nyata terhadap demokrasi dan HAM.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tuntutan sebagian wilayah menggunakan Islam sebagai salah satu sumber hukumnya semakin banyak. Banyak daerah seakan berlomba-lomba untuk membuat perda syariah, perda yang lebih banyak mengatur tetang wilayah moral yang merujuk pada hukum Islam.
Islam kini diidentikkan dengan pria berjenggot dengan gamis dan celana komprang. Perempuannya berjilbab besar dengan busana muslim panjang, bahkan bercadar. Lebih menyeramkan lagi, Islam terstigma dengan terorisme.
Dalam opini yang dibangun selama ini, semua teroris adalah orang Islam. Orang-orang itu diperkenalkan menggunakan nama-nama Islam. Inilah wajah para Islam yang setiap saat disuguhkan kepada masyarakat. Dan, secara pelan-pelan stigma masyarakat tentang Islam ini terbentuk.
Di lain pihak, media selalu membumbui kekerasan yang terjadi dengan label Islam. Baik itu kekerasan antarormas maupun antaranggota masyarakat. Media lebih senang menampilkan simbol-simbol Islam yang dikenakan pelaku anarkisme menjadi konsumsi berita. Inilah yang menyebabkan Islam dipandang negatif.
Termasuk, pelarangan jilbab bagi anggota polwan. Apa pun dalihnya, ketika ada peraturan yang melarang penggunaan jilbab, maka itu berarti merupakan pelanggaran terhadap HAM. Semua lembaga, terutama institusi pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, harus benar-benar menjunjung tinggi UUD 1945 dengan memperhatikan HAM.
Untuk itulah, dibutuhkan sebuah kesepahaman baru untuk meluruskan kecurigaan-kecurigaan terhadap Islam. Semua pihak harus sama-sama menciptakan perdamaian, menghormati hak asasi manusia (HAM), dan, bagi umat Islam, hendaknya bisa menunjukkan Islam yang damai dan rahmatan lil alamin-nya. n
Direktur Eksekutif The Hasyim Asy'ari Institute