Orang Jepang merayakan Hari Natal bukanlah karena memeluk agama Kristen. Sebagai penyuka perayaan dan festival, mereka melakukannya karena menganggap hal itu menarik dan merupakan peluang bisnis yang menguntungkan bagi para pelaku usaha.
Sedangkan negara tidak pernah campur tangan dalam urusan agama. Tidak ada pengaturan agama dalam konstitusi Jepang, agama menjadi urusan individu. Departemen Agama, Menteri Agama, apalagi hari libur agama tidak diadakan. Hari kemarin (23-24 Desember) adalah hari libur untuk memperingati kelahiran Kaisar Akihito.
Dalam dunia pendidikan, agama tidak diajarkan di dalam kelas. Agama hanya dibahas dalam konteks sejarah. Pendidikan moral diajarkan dengan menanamkan good habits kepada anak didik. Pada dasarnya, agama bagi orang Jepang hanya sekadar budaya, tradisi, atau kebiasaan saja. Jinja (Kuil Shinto) dan Tera (Kuil Budha) lebih banyak difungsikan sebagai objek wisata ketimbang tempat ibadah.
Sejarah masuknya pengaruh Barat ke Jepang
Jepang pernah memberlakukan proteksionisme sampai tahun 1868. Periode ini kita kenal dengan Periode Edo dalam rentang tahun 1600–1868. Dalam periode ini, orang asing dilarang masuk dan orang pribumi sendiri dilarang meninggalkan Jepang.
Dalam masa isolasi ini, justru menjadi masa-masa munculnya kebudayaan asli Jepang: Kabuki, Geisha, dan semacamnya. Dalam masa ini, pengaruh asing (terutama Barat) belum banyak masuk ke Jepang. Baru pada saat Periode Meiji (restorasi Meiji) dalam rentang tahun 1868–1912, Jepang membuka diri terhadap dunia luar dan pengaruh Barat mulai banyak berdatangan.
Pada masa itu, pasukan Amerika yang dipimpin oleh Komodor Matthew Perry datang melalui Tokyo Bay dan misionaris pun mulai tumpah ruah ke Jepang. Mutsushito (Emperor Meiji) yang saat itu berusia 15 tahun dan menjadi pemimpin kemudian mengubah nama Edo yang artinya "Pintu Teluk" menjadi Tokyo yang artinya "Ibukota Timur".
Orang Jepang kemudian menyebut orang asing yang masuk ke Jepang sebagai gaikokujin. Tapi, meskipun setiap orang asing dianggap "gaikokujin", mereka tidaklah sama. Orang Jepang dalam memandang segala sesuatu itu sesuai dengan pemahaman mereka tentang konsep "uchi" dan "soto".
"Uchi" merepresentasikan orang dalam; Sedangkan "soto" merepresentasikan orang luar. Dalam setiap "uchi", setiap orang menempati kedudukan sesuai dengan hierarki yang sudah ditetapkan. Paham ini juga digunakan dalam lingkup masyarakat yang lebih luas.
Di sekolah, murid yang lebih dulu masuk dan lebih tinggi kelasnya disebut "senpai". Secara bahasa, "senpai" ditulis dari kanji "saki" yang artinya terlebih dulu (former)—sama halnya untuk kanji "sen" pada "sensei"; Dan "hai" yang artinya orang (fellow). Jadi, "senpai" bisa diartikan orang yang lebih dulu tahu atau lebih dulu berpengalaman.
Sedangkan "kohai" ditulis dari kanji "ato" yang artinya belakangan (later); Dan "hai" yang artinya orang (fellow). Jadi, "kohai" bisa diartikan orang yang belakangan tahu atau masih “hijau”. Hierarki "senpai–kohai" ini secara konsisten terdapat pula dalam lingkungan pekerjaan; Siapapun yang berada dalam posisi "kohai" harus menghormati dan mengikuti petunjuk "senpai"-nya.
Dalam pergaulan antar bangsa pun, konsep "senpai–kohai" tetap digunakan. Artinya, dalam pandangan orang Jepang, kedudukan bangsa-bangsa itu tidak sama, melainkan sesuai dengan hierarki dalam "uchi". Artinya, demikian pula kedudukan seorang "gaikokujin" dalam pandangan mereka.
Bangsa yang pernah mengalahkan mereka, yaitu bangsa Barat, ditempatkan dalam kedudukan yang tinggi. Sedangkan bangsa-bangsa yang pernah mereka jajah, ditempatkan dalam kedudukan yang rendah. Hal itu tercermin dari banyaknya budaya-budaya Barat yang masuk ke Jepang, termasuk dalam perayaan Natal.
Banyak budaya Barat dalam perayaaan Natal yang diadopsi oleh orang Jepang. Memang sudah merupakan kebiasaan orang Jepang untuk mencari sesuatu yang menarik dari negara-negara Barat dan kemudian memodifikasinya menjadi sesuatu yang khas Jepang (Jepangisasi). Kita kenal istilah "ii toko tori", yaitu mengambil yang terbaik.
Segala pengaruh dari Barat lebih bisa diterima ketimbang pengaruh dari Timur, karena orang Jepang sendiri menganggap bahwa bangsa Barat adalah "senpai"-nya yang harus dihormati dan dituruti; Sedangkan bangsa Timur adalah "kohai"-nya.
Pertanyaannya kini: Mengapa negara-negara maju itu bukanlah negara yang mayoritas penduduknya muslim? Sehingga bisa dianggap "senpai" oleh orang Jepang yang harus dituruti dan dipatuhi. Karena orang Jepang baru akan melihat siapa yang bicara ketika orang itu dianggap lebih tahu, lebih berpengalaman, dan lebih berprestasi. Sebagaimana "sensei" atau "senpai" yang berbicara kepada orang di bawahnya. Wallahu’alam.
Rizal Dwi Prayogo
Mahasiswa Master di Kanazawa University, Jepang