Rabu 12 Dec 2012 18:00 WIB

Kemacetan Politik

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif

Kita berada di ambang kemacetan lalu lintas politik. Partai politik menjadikan sentra-sentra kuasa ibarat negara dalam negara, yang berkhidmat pada kepentingan partai masing-masing.

Para aspiran kekuasaan berlomba mengundi peruntungan dengan saling curi kesempatan, tak segan menabrak lampu merah dan membobol keuangan negara, yang menimbulkan tubrukan kepentingan di persimpangan jalan.

Maju kena, mundur kena; semua pengemudi kendararaan saling mengunci. Terjadi gridlock dalam tata hubungan kenegaraan, yang menimbul kan kemacetan di semua jalur. Mengatasi gridlock seperti itu mengandaikan kehadiran otoritas yang berdiri tegas, dapat mengupayakan jalur putaran atau pengalihan, yang secara perlahan bisa mengurai kemacetan.

 

Namun, pengandaian inilah yang tak terpenuhi di negeri ini. Tony Blair berkata, "The art of leadership is saying no, not yes. It is easy to say yes."

Di dalam perilaku berlalu lintas kekuasaan yang saling serobot, yang sangat dituntut dari otoritas pemimpin adalah keberanian berkata "tidak". Kepala negara semestinya merupakan otoritas terakhir yang mengambil kata putus.

Dipilih secara langsung oleh rakyat, dengan dukungan jumlah pemilih yang meyakinkan, secara prinsipil dan kondisionalitas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki basis legitimasi yang kuat.

Dengan basis legitimasinya yang kuat, SBY dalam mengemban tugasnya itu bisa mewujudkan diri sebagai active president.

Yang dimaksud dengan istilah terakhir adalah presiden yang dalam batas-batas konstitusionalnya bisa proaktif menerobos berbagai sumbatan kemacetan tanpa perlu dihantui rasa terancam karena mendapat dukungan rakyat yang kuat.

Dalam merebaknya disorganisasi sosial, active presidentbisa menjadi pemimpin kharismatik; dalam arti pemimpin yang dapat melahirkan berbagai kompensasi atas kelumpuhan pranata- pranata kenegaraan.

Nyatanya, Presiden SBY cenderung mengembangkan kepresidenan secara pasif, kecuali dalam merespons hal-hal yang menyangkut citra diri. Dalam menyusun kabinet, Presiden membiarkan didikte pilihan partai-partai politik. Dalam menyusun perekonomian, Presiden membiarkan didikte kepentingan asing. Dalam persoalan integrasi nasional, Presiden membiarkan didikte kelompok pamaksa kekerasan.

Dalam persoalan perlindungan buruh migran, Presiden kurang tegak memancangkan harkat bangsa. Dalam persoalan korupsi, Presiden membiarkan partainya menjadi rumah para koruptor. Dalam soal pemilihan, Presiden membiarkan praktik pemilu mahal dan curang. Bahkan dalam urusan partai koalisi, Presiden tidak mampu mendisiplinkan partai-partai pendukung.

Presiden mestinya tidak perlu takut mengambil pilihan, termasuk keberanian berkata tidak bagi setiap anasir oportunis. Toh, dengan tidak berani mengambil risiko pun, risikonya tetap ada.

Risiko dari Presiden pasif yang terlalu mencari jalan aman adalah "peluang lewat, momentum lenyap, sinisme menguat".

Peluang Indonesia untuk mengonsolidasikan diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dunia terancam kandas oleh lumpuhnya pelbagai pranata demokrasi karena pembiaran oleh Presiden.

Momentum Indonesia untuk mengembangkan perekonomian yang diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomi kawasan terancam hilang oleh biaya ekonomi tinggi yang dipacu oleh korupsi dan mahalnya biaya politik.

Sinisme menguat dalam beragam lelucon dan ekspresi sarkastik, yang mencapai puncaknya menyusul pembongkaran borok-borok internal Partai Demokrat di altar publik. Dengan Presiden yang disibukkan oleh persoalan citra diri serta gonjang-ganjing di tubuh partainya sendiri, sulit membayangkan adanya otoritas terakhir yang dapat mengurai kemacetan politik.

Alhasil, mengharapkan inisiatif pemulihan dan penyehatan pranata politik oleh dinamika dan mekanisme internal kelembagaan politik tak bisa diharapkan. Kalaupun ada harapan, harapan itu bisa muncul dari situasi negatif, yakni dari pembusukan dan persertuan sengit dalam relasi antarkomunitas politik.

Dalam ketiadaan otoritas yang tegas dan mengambil inisiatif, usaha mengatasi kemacetan politik itu mengandaikan adanya prakarsa sukarela dari nonstate actors, semacam "polisi preman" yang biasa ditemukan di berbagai persimpangan. Dalam istilah Jurgen Habermas, masyarakat sipil perlu melakukan pengepungan terhadap masyarakat politik, dengan mendiktekan agenda untuk berbalik haluan atau mengambil jalan alternatif.

Lewat revitalisasi partisipasi publik, politik yang memprioritaskan kepentingan elite dan kelompok penguasa dengan mengatasnamakan `kebajikan publik', bisa didesak mundur oleh politik sejati yang memiliki kepedulian untuk mempertahankan kepentingan kolektif melalui perbaikan otoritas publik.

sumber : resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement