Rabu 04 Jul 2012 19:48 WIB

Aib Terbesar

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Yudi Latif

Tibalah bangsa ini pada lembah kehinaan yang dalam. Di negeri ini, kehilangan harga diri membuat penyelenggara negara bahkan berani mengorupsi pengadaan kitab suci. Indonesia ada karena perjuangan dan komitmen luhur me muliakan nilai dan martabat manusia. Dalam memperjuangkan harga diri manusia lewat kemerdekaan, Indonesia telah lolos berbagai ujian kemelaratan dan penderitaan. Tetapi, daya hidup dan karakter keindonesiaan itu justru go yah saat ketamakan dan kezaliman kuasa me nari di atas penderitaan rakyat banyak.

Kemiskinan memang membuat bangsa ini tidak memiliki banyak hal, tetapi keserakahan membuat bangsa ini kehilangan segalanya. Ke hilangan terbesar dari bangsa ini bukanlah ke merosotan pertumbuhan ekonomi, melainkan ke hilangan harga diri, yang membuat para abdi negara terpenjara ke dalam perbudakan mental sebagai pencuri dan pengemis. “Aib terbesar, “ kata Juvenalis, “ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ke timbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip prinsip kehidupan.”

Pembusukan moral negara terjadi ketika lembaga kepolisian dan kejaksaan yang mestinya menegakkan hukum justru menjadi manipulator hukum; lembaga parlemen yang mestinya mengontrol pemerintah justru menjadi makelar proyek; birokrasi yang mestinya melayani rakyat justru menjadi pemungut rente; kepala negara yang mestinya menegakkan ‘kebajikan dan keadilan tertinggi’ (summon bonum) di atas formalitas hukum, justru mengalah pada kerangkeng prosedural dalam kerangka keseimbangan kekuasaan.

Pembusukan moral negara ini akan sempurna, bilamana para pejabat dan institusi kenega raan menyalahgunakan fungsinya dalam rangka melayani kepentingan para sindikat partikelir. Sekitar setengah abad yang lalu, Bung Hatta mewanti-wanti agar negara ini tidak jatuh ke tangan sindikalisme yang akan membuat Republikanisme ini tersungkur di bawah kendali mafioso. Malangnya, drama demi drama yang di pertontonkan para pejabat publik dalam kaitan de ngan masalah korupsi akhir-akhir ini, men dekati kekhawatiran Bapak Bangsa itu bahwa Republik ini terperangkap ke dalam jejaring sindikat korupsi.

Situasi kegentingan ini harus menjadi panggilan sejarah baru di hari pahlawan. Bahwa kita semua terancam ‘kehilangan Indonesia’. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Perdana Menteri Belanda Hendrik Colijn sekitar tahun 1938. Ketika menanggapi petisi Soetardjo, anggota Parlemen Hindia Belanda, yang menuntut kemerdekaan Indonesia, Colijn mengatakan, “Indie verloren rampspoed geboren” (kehilangan Indonesia, timbul bencana).

Dengan tekad kejuangan dan komitmen keadilan, Indonesiapun merdeka, yang menimbulkan kehilangan dan bencana besar bagi Belanda. Tetapi, dengan redupnya daya juang dan komitmen keadilan yang menjadi roh keindonesian, kini giliran bangsa sendiri terancam kehilangan Indonesia.

Kehilangan Indonesia akan merupakan suatu bencana besar atas rontoknya cita-cita besar mewujudkan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Para pendiri bangsa mewariskan kepada kita nilai-nilai luhur dan tujuan perjuangan ke bangsaan, seperti terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Sedemikian terangnya alasan, isi, dan haluan perjuangan keindonesiaan itu sehingga seorang ahli sejarah, Rutger, menyatakan, “Dari semua negara-negara di Asia Tenggara, Indonesialah yang dalam konstitusinya, pertama-tama dan paling tegas memberikan latar psikologis yang sesungguhnya dari perjuangan revolusi melawan penjajahan.

Dalam filsafat negaranya, Pancasila, dilukiskannya alasan dan tujuan secara lebih mendalam dari revolusi itu.”

Sayang, segala warisan luhur para pendiri bangsa itu tak mampu dirawat dan dimuliakan oleh para pelanjutnya. Perhatian bangsa hari ini hanya tertuju pada gebyar lahir, tanpa memperhatikan isi batin. Padahal, kehilangan Indonesia tidak bisa ditemukan kembali hanya dengan menggelorakan pembangunan ragawi.

Peringatan Wiranatakoesoema pada sidang BPUPKI seperti mengantisipasi kemungkinan ini: “Pada hemat saya, hal yang menyedihkan ini karena manusia tidak atau tidak cukup menerima latihan batin, ialah latihan yang menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia (motive force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam pertanggungan jawab sebagai seorang anggota masyarakat yang aktif, bukankah tujuan kita pro patria. Tetapi, pro patria per orbis concordiam. Maka alam moral ini hendaknya kita pecahkan, karena latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh tak akan mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat yang baik.” ¦

sumber : resonansi

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement