Rabu 13 Jun 2012 16:08 WIB

Kepemimpinan Moral

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Yudi Latif

Komitmen terhadap kemaslahatan publik menuntut para pemimpin tidak melulu mengandalkan modal finansial, tetapi yang lebih penting “modal moral” ( moral capital). Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat.

Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik. Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, melainkan kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi perilaku masyarakat (Kane, 2001).

Ditanya oleh Direktur Penjara Landraad Bandung ikhwal “kehidupan baru” selepas bebas, Bung Karno menjawab, “Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan, dan saya meninggalkan penjara untuk pikiran yang sama.” (Soekarno, 1961).

Di tengah impitan depresi ekonomi dan represi rezim rusten orde pada dekade 1930-an, setegar baja Bung Hatta berkata, “Betul banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu.” Lantas ditambahkan, “Ketetapan hati dan keteguhan iman adalah satu con- ditiosinequa non (syarat yang terutama) untuk menjadi pemimpin. Kalau pemimpin tidak mempunyai moral yang kuat, ia tak dapat memenuhi kewajibannya dan lekas terhindar dari pergerakan.” (Hatta, 1998).

Tak hanya berbekal komitmen moral individual, keduanya juga mampu berempati dengan suasana kebatinan rakyat seraya memiliki ke mampuan komunikasi yang efektif untuk menggerakkan mereka. Kemampuan Bung Karno dalam hal ini bahkan diakui oleh Bung Hatta.

“Saudara Soekarno menjadi sangat populer dan mendapat pengaruh besar di kalangan rakyat karena kecakapannya sebagai orator dan agitator yang hampir tidak ada bandingnya di Indo nesia ini.”

Sementara itu, Bung Hatta sendiri menegaskan, “Menduga perasaan rakyat dan memberi jalan kepada perasaan itu ke luar, itulah kewajiban yang amat sulit dan susah. Itulah kewajiban leiderschap! .... Pergerakan rakyat tumbuh bukan karena pemimpin bersuara, melainkan pemimpin bersuara karena ada pergerakan atau karena ada perasaan dalam hati rakyat yang tidak dapat oleh rakyat mengeluarkannya .... Pemimpin mengemudikan apa yang sudah dikehendaki oleh rakyat. Itulah sebabnya, maka pemimpin lekas dapat pengikut dan pergerakan yang dianjurkannya cepat berkembang.”

Kekuatan moral capitalitu pada akhirnya berkemampuan mengangkat partikularitas manusia ke tingkat yang lebih tinggi, yakni level politik yang berorientasi kebajikan bersama dalam rumah kebangsaan. “Bahwa keadaan bangsa,” ujar Bung Hatta, “Tidak ditentukan oleh bahasa yang sama dan agama yang serupa, tetapi oleh kemauan untuk bersatu.”

Ditambahkan oleh Bung Karno, “Di seluruh negeri kita, yang kelihatan hanyalah kesukaran, kekurangan, kemelaratan. Di dalam keadaan yang demikian itulah kita memulai perjoangan kebangsaan kita. Dengan kehendak yang membulat menjadi satu, ketetapan hati yang menggumpal menjadi satu, tekad yang membaja men jadi satu, seluruh bangsa kita bangkit, bergerak, berjoang un tuk membenarkan, mewujudkan proklamasi 17 Agustus itu.”

Belajar dari kedua mahaguru bangsa tersebut, setidaknya ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan me mobilisasi “moral capital” seca rapoli tik. Pertama, basis moralitas; menyangkut nilai-nilai, tu juan, serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya.

Kedua, tindakan politik; menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya. Ketiga, keteladanan; menyangkut contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan autentik dan kepercayaan kepada komunitas politik.

Keempat, consensus building; yakni kemampuan seorang pemimpin untuk mengomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitas dalam bentuk bahasa politik yang efektif, yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas masyarakat. Sosok kepemimpinan kedua pahlawan tersebut perlu diungkap untuk memberi teladan bagi kepemimpinan krisis masa kini.

Sulitnya pemulihan krisis yang Indonesia hadapi hari ini, terutama bukan karena defisit sum ber daya dan orang pintar, melainkan ka rena bangkrutnya moral capital dari para pe mimpin politik. Terlalu sedikit panutan dan ter lalu banyak pengkhianat membuat jagat po litik kehilangan pahlawan. Tatkala nama pahlawan disebutkan, kita terpaksa harus menoleh ke batu nisan.

Pahlawan telanjur dikuburkan, meninggalkan jagat politik dalam kealpaan panduan. Mereka yang mendambakan teladan, terpaksa harus mencari di dunia rekaan.

Dengan kenyataan seperti itu, siapa saja yang berkehendak menjadi pemimpin harus mampu membangkitkan kembali etos kepahla wanan yang dapat memulihkan kembali harapan rakyat. Bahwa krisis dan kesulitan yang kita hadapi hari ini bukanlah alasan untuk mencari kambing hitam, melainkan membuka peluang bagi perubahan fundamental.

sumber : resonansi

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement