Upaya pemberdayaan perempuan di pedesaan oleh aktivis LSM dalam sepuluh tahun terakhir, dianggap banyak kalangan berhasil ”mengeluarkan” perempuan dari "kungkungan" domestik. Pelatihan-pelatihan ”keterampilan hidup (life skill)” yang belakangan juga mendapat dukungan pemerintah, berhasil membuka mata perempuan pedesaan terhadap dunia di luar reproduksi. Indikator keberhasilan tersebut mengacu pada banyaknya perempuan pedesaan yang bekerja di luar rumahnya.
Kesamaan akses pendidikan dan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan, menjadi barometer dalam melekatkan ”stigma” bahwa perempuan pedesaan saat ini dianggap telah menjalani hidup ”liberal”. Asumsi liberal yang dibangun adalah, ketika perempuan berdaya secara ekonomi, maka otomatis juga memiliki kewenangan terhadap tubuh dan dirinya, tidak lagi berada di bawah payung ”patriakhat” yang cenderung dominatif kepada kaum hawa. Wacana “gender equality” di pedesaan tersebut di atas, mengundang praduga ilmuwan sosial dan praktisi tentang adanya keterkaitan program ”emansipasi” ini dengan upaya memuluskan jalan kapitalisasi di dunia ketiga, khususnya Indonesia.
Kasus TKW
Ilmuwan sosial memiliki tiga cara pandang terhadap perempuan pedesaan yang kerap mengalami subordinasi, beban ganda, diskriminasi, stereotiping dan kekerasan. Pandangan pertama diberikan oleh kelompok feminis Marxis yang melihat ketertindasan perempuan disebabkan karena posisinya berada di ruang domestik. Pandangan kedua, kelompok feminis liberal menganggap manusia memiliki harkat dan martabat sama maka penindasan dan perlakukan berdasar jenis kelamin adalah bagian dari pelanggaran HAM. Pandangan ketiga oleh feminis sosialis.
Pandangan feminis sosialis lebih radikal dari dua kelompok feminis di atas. Kelompok ini mengaitkan penindasan perempuan dengan perangkat relasi sosial yang kompleks, tidak sekedar relasi kelas yang dijelaskan oleh penganut Marxian. Menurut feminis sosialis, ketertindasan perempuan disebabkan karena ada ketimpangan relasi ekonomi, peran dan identitas gender yang telah mewujud menjadi tradisi dan struktur sosial serta relasi kekuasaan.
Di Cianjur Selatan, meski daerah ini dikenal pemasok TKW terbesar, tapi kehidupan sosial kaum perempuan tidak jauh dari kemiskinan. Di sini, analisis feminis Marxis meleset. Meski kaum perempuan banyak yang keluar dari rumah (menjadi TKW dengan gaji besar), tapi mereka tetap miskin dan tidak memiliki hak atas tubuh dan hartanya. Ketika penulis melakukan studi lapang di daerah Cianjur Selatan (2010), para perempuannya tengah bekerja di luar negeri, sementara suami mereka rupanya sebagian besar senang mengunjungi tempat-tempat pelesir ”di warung remang-remang”.
Struktur sosial masyarakat sangat longgar terhadap manipulasi data perkawinan, karena di lapangan ditemukan fakta para suami TKW banyak yang melakukan poligami. Bahkan, poligaminya dengan empat perempuan tanpa adanya ijin dari istri sah yang sedang bekerja di luar negeri.
Selain istri, pihak yang dirugikan secara langsung dari relasi yang bias gender itu yakni pengasuhan anak yang terlantar. Keharusan fungsional seperti dirumuskan para Sosiolog aliran fungsional struktural Talcot Parson dan Robert Merton (2009), ternyata hanya menempatkan perempuan di posisi yang harus menanggung beban ganda.
Selain bekerja sebagai TKW, para perempuan itu juga harus menggadaikan pengasuhan anak. Anak-anak para TKW sebagian besar di asuh oleh neneknya. Anak-anak ini sangat sedikit yang mengenyam pendidikan. Bahkan di daerah pesisir Cianjur, anak usia 7 tahun banyak yang tidak mengenyam pendidikan (meski pendidikan di Cinajur bebas biaya).
Uang hasil kerja sebagai TKW yang tiap bulannya dikirimkan kepada para suami tak bisa dipertanggungjawabkan. Sepulang sebagai TKW, perempuan desa ini pun kembali karib dengan kemiskinan. Faktor kemiskinan pula yang sangat dominan sebagai penyebab besarnya angka perceraian di masyarakat.
Tetap Di Ruang Domestik
Meningkatnya keterlibatan perempuan pedesaan dalam kegiatan ekonomi, dalam pandangan penulis menandakan perkembangan kuantitatif yang penting dalam kehidupan perempuan. Hal ini bukan hanya menunjukkan kesempatan-kesempatan yang semakin terbuka bagi perempuan, tapi juga karena penting artinya bagi analisis tentang makna perkembangan tersebut. Tidak hanya bagi perempuan saja, tapi juga bagi laki-laki maupun masyarakat secara umum.
Kesempatan perempuan keluar dari arena domestik dan bekerja di luar rumah (atau keluar desa dalam kasus buruh migran), dipengaruhi oleh kesadaran baru perempuan atau karena pergeseran nilai yang memungkinkan perempuan meninggalkan rumah. Kondisi kemiskinan yang mendera kehidupan kaum perempuan dan keluarganya, menjadi alasan utama mengapa mereka memilih menjadi TKW di Arab Saudi, Malaysia, Hongkong dsb. Masalah akibat perceraian juga mendorong kaum perempuan melarikan persoalannya dengan menjadi TKW.
Namun, peningkatan kuantitatif tersebut perlu dicermati pengaruhnya bagi peningkatan kesejahteraan perempuan. Fakta menunjukkan, bahwa peningkatan keterlibatan perempuan, dalam contoh Cianjur Selatan, ini justru dalam pekerjaan kasar yakni bekerja di sektor domestik sebagai pembatu rumah tangga atau pengasuh anak. Realitas seperti ini memberi kita pemahaman ternyata pembagian kerja secara seksual tidak hanya terjadi antara bidang domestik, tapi dalam publik pun terjadi segmentasi yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada ruang yang berbeda. Hampir semua TKW ditempatkan sebagai pekerja domestik yang tidak memiliki ketentuan berapa lama ia bekerja dalam sehari.
Meskipun perempuan ”keluar” dari ranah domestik sebagai Ibu rumah tangga, lalu bekerja di luar rumah sebagaimana laki-laki, hal ini tidak bisa dimaknai bahwa perempuan telah memiliki hak yang sama terhadap akses publik seperti konsep para feminis liberal. Sebab, pekerjaan pun merupakan hasil konstruksi struktur sosial yang didasarkan pada jenis kelamin.
Pekerjaan untuk perempuan yang dikonstruksi oleh struktur patriakhat tersebut tidak jauh dari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh bayi, maupun cuci-setrika baju. Semua pekerjaan tersebut memiliki upah yang rendah, dengan jam kerja yang relatif lebih panjang daripada pekerjaan formal kantoran.
Fenomena pekerja perempuan pedesaan yang menempati posisi sebagai pekerja kasar, juga harus dilihat sebagai upaya melibatkan perempuan “atas nama kesetaraan gender”. Hal tersebut terkait perempuan yang tidak lagi terkungkung di dalam rumah. Namun, sebenarnya itu hanyalah manipulasi dan upaya para kapitalis, yang hendak mengejar target, bagaimana produksi barang dapat ditekan dengan harga yang rendah. Salah satu upayanya ialah dengan mempekerjakan perempuan di dalamnya.
Menilik data-data di lapangan tersebut, tudingan bahwa perempuan desa saat ini liberal, dalam pandangan penulis patut dipertanyakan. Hal ini jika pemaknaan liberal dilekatkan pada aspek laki-laki dan perempuan memiliki harkat dan martabat yang sama.
Susianah Affandy
Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB dan Anggota Pimpinan Pusat Muslimat NU